Project baru bersama
Dea dan Bella, menulis cerita fiktif. Sebenarnya aku tak tahu mau menulis apa,
hanya saja yang namanya imajinasi selalu menyusup di sela-sela memori otak yang
diciptakan Tuhan.
Kamu (masih) candu.
Oleh: Yenny Annisa
Dua bola mata yang sama. Senyum
manis yang sama. Alis hitam tebal yang sama. Tatanan rambut yang sama. Bahkan
aroma tubuh yang belum juga berubah. Semuanya sama. Masih sama. Dan aku juga
tak ingin semuanya berubah.
Aku memperhatikan lekat-lekat setiap
pergerakan pemilik kumis tipis dengan janggut yang masih memanjang di dagu
runcingnya. Dia sibuk menghabiskan segelas jus tomat yang dicampur dengan wortel,
favoritnya.
“Kenapa ngeliatin?” tanyanya merasa
ada yang memperhatikannya sejak tadi.
Aku tersenyum sembari menggelengkan
kepala perlahan.
Aku perlu banyak alasan mengapa aku
selalu melihatnya secara detail karena aku suka, aku menyayanginya.
*****
Aku menatap ponsel yang sejak tadi
tak bergeming sedikitpun. Masih juga sama, selalu seperti ini. Berulang kali
aku mengecek inbox bahkan laporan pengiriman pesan terakhir yang aku kirimkan,
tak kunjung ada balasan untuk jam-jam berikutnya. Aku tetap menunggu, meskipun
dengan hati dongkol.
“Ngilang lagi…”
Sudah sekian lama ini terjadi dan
bertubi-tubi membuatku enggan sendiri. Meskipun pada akhirnya tetap ada balasan
dan membuatku tersenyum lagi. Entah ada racun bahagia macam apa yang diciptakan
menyusup ke dalam deretan huruf yang dikirimkannya. Tak banyak, singkat, padat,
kadang jelas dan kadang nggak jelas sama sekali. Dia selalu mengirimkan pesan
sesuai dengan apa yang kutanyakan, to the point. Terkadang itu membuatku kesal
sendiri, merasa kalau itu adalah bukan feedback yang diharapkan sebenarnya. Aku
ingin yang lebih, lebih, dan lebih. Layaknya drama korea yang aktornya memang
cuek tapi romantis. Memang, drama korea mengaburkan mata dalam segala hal,
dalam hal lelaki misalnya.
“Kemana aja seharian?” tanyaku pada
sesorang di seberang yang entah sedang berbuat apa.
“Maaf ya sayang, tadi sibuk banget
aku…”
“Kenapa sih sayang nggak pernah
ngabarin kalo mau sibuknya lama. Seneng banget bikin aku nunggu. Ya kalo emang
sibuk kabarin aku dong, aku sibuk yaang sebentar yaaa. Ato apa gitu kek yang
lain. Mesti langsung asal ninggal, nggak tau apa kalo ada yang nungguin daritadi?”
entah emosi macam apa yang aku keluarkan semua.
“Ya maaf sayang tadi nggak sempet..”
suaranya memelas, berusaha meredakan emosiku yang mulai meledak.
“Nggak sempet gimana? Ngetik SMS
sebentar aja masa nggak sempet?” aku tetap mempertahankan argumenku.
“Apa setiap hal yang aku lakuin
harus aku kabarin ke kamu?” nada bicaranya meninggi.
Aku terhenyak. “Iyalah. Biar aku
nggak nunggu kamu.”
“Siapa yang suruh nunggu aku?”
“Aku sukanya nunggu!”
“Yaudah tunggu aja kalo gitu!”
Tut…tut…tut… aku terdiam. Tanpa
terasa air mata mengalir perlahan membasahi pipi. Entah apa yang ada
dipikirannya hingga memberi kabar bukan merupakan hal yang penting baginya. Anehnya
juga dia marahnya seperti ini, biasanya juga nggak pernah marah. Padahal,
awalnya niat aku yang ngambek malah dia yang ngambek duluan.
Untuk mengusir rasa jengkelku, aku
membuka tab=tab baru Chrome. Twitter. Berterimakasihlah pada Jack Dorsey yang
telah memiliki ide yang luar biasa telah menciptakan media sosial yang seperti
ini. Setelah membalas mention-mention candaan bersama teman yang lain, tiba
saatnya dimana sudah tak ada lagi yang bisa dikerjakan dengan media berlogo
burung ini. Stalking! Yak! Hal rutin yang kulakukan di saat memang sudah tak
ada lagi yang bisa dikerjakan. Mulai dari artis luar, artis dalam negeri, temen
paling cantik, ganteng, mantan sendiri, mantannya pacar, mantan-mantan
pacar-temennya-temen, sampe pacar sendiri tak pernah absen dalam daftar
simpanan pencarian.
Sayangnya dia tak pernah aktif dalam
twitter. Aku pernah menanyakan hal ini, di saat teman yang lain sibuk
mention-mentionan sama pacar tercintanya, aku hanya bisa mupeng. Pengin gitu
rasanya mention-mentionan sm pacar. Memang sih terkadang kita menganggap itu ih pacaran kok di sosial media. Coba deh
rasakan rasanya di mention sama pacar sendiri, pasti beda. Dan kalian tahu dia
jawab apa saat kita membahas hal ini? Twitter
cuman tulisan, nggak ada game-nya. Badanku lemas seketika menerima respon
yang kurang diharapkan, tak diharapkan bahkan.
Aku menatap nanar jendela kamar yang
masih terbuka. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Sebenarnya apa sih yang salah
sampai selalu seperti ini? Aku? Atau dia? Memang, aku selalu menuntutnya untuk
menjadi sosok yang lebih dan lebih, bahkan aku tidak pernah memikirkan
bagaimana dia menilaiku. Memangnya aku sempurna? Bisa saja dia lebih muak
dengan segala sikapku?
Aku melirik ponsel di sebelahku,, tak
ada tanda-tanda akan datangnya sebuah pesan atau telepon masuk darinya. Mungkin
dia marah, dia enggan, atau bahkan tidak peduli denganku.
“Halo…” ujarku lirih setelah menanti
nada sambung yang sekian lama be-tut-tut ria.
“Ya?”
“Marah ya?”
“Aku udah paham banget kamu kayak
gitu.”
“Maaf yaa sayang.”
“Buat?”
“Udah bikin sayang marah. Aku nggak
gitu lagi deh..” ujarku mengumbar janji yang sekian kali kuucapkan dan sekian
kali pula kulanggar.
“Iyaaa sayaaang..”
Aku tau dia memang tak pernah marah padaku.
“Makasih sayang. I love you.”
“I love you too.”
Aku tau kalau dia begitu paham
denganku, aku yang sama sekali nggak bisa ditinggal contohnya. Hanya saja dia
selalu melakukan hal-hal yang membuatku selalu menunggu, menunggunya untuk
kembali dekat denganku. Aku takut kehilangannya.
Dia yang jarang menyapaku dalam
twitter, jarang membalas pesan dalam waktu cepat, jarang meneleponku, jarang
mengajakku keluar duluan, jarang menarik tanganku dan menggenggamnya dengan
erat, jarang menggandeng tanganku duluan, tak pernah merengkuh pundakku, tak
pernah memberiku bunga, tak pernah memberiku surprise kecil, tak pernah
menyempatkan waktu mengirim kabar saat sudah sibuk dengan dunianya, tak pernah
berinisiatif memberiku permen, eskrim, atau apapun di kala aku gondok, tak
pernah.
Aku tau betapa jauhnya dia dari yang
kuharapkan. Namun……kamu candu. Kamu masih candu. Selalu menjadi candu. Dan aku
mencanduimu. Selalu.