Follow Me

Jangan Menghalangiku! Aku sendiri Tak Tahu Kemana Kakiku Akan Melangkah!

20 February 2014

Kamu (masih) candu



Project baru bersama Dea dan Bella, menulis cerita fiktif. Sebenarnya aku tak tahu mau menulis apa, hanya saja yang namanya imajinasi selalu menyusup di sela-sela memori otak yang diciptakan Tuhan.

Kamu (masih) candu.
Oleh: Yenny Annisa

            Dua bola mata yang sama. Senyum manis yang sama. Alis hitam tebal yang sama. Tatanan rambut yang sama. Bahkan aroma tubuh yang belum juga berubah. Semuanya sama. Masih sama. Dan aku juga tak ingin semuanya berubah.
            Aku memperhatikan lekat-lekat setiap pergerakan pemilik kumis tipis dengan janggut yang masih memanjang di dagu runcingnya. Dia sibuk menghabiskan segelas jus tomat yang dicampur dengan wortel, favoritnya.
            “Kenapa ngeliatin?” tanyanya merasa ada yang memperhatikannya sejak tadi.
            Aku tersenyum sembari menggelengkan kepala perlahan.
            Aku perlu banyak alasan mengapa aku selalu melihatnya secara detail karena aku suka, aku menyayanginya.
*****
            Aku menatap ponsel yang sejak tadi tak bergeming sedikitpun. Masih juga sama, selalu seperti ini. Berulang kali aku mengecek inbox bahkan laporan pengiriman pesan terakhir yang aku kirimkan, tak kunjung ada balasan untuk jam-jam berikutnya. Aku tetap menunggu, meskipun dengan hati dongkol.
            “Ngilang lagi…”
            Sudah sekian lama ini terjadi dan bertubi-tubi membuatku enggan sendiri. Meskipun pada akhirnya tetap ada balasan dan membuatku tersenyum lagi. Entah ada racun bahagia macam apa yang diciptakan menyusup ke dalam deretan huruf yang dikirimkannya. Tak banyak, singkat, padat, kadang jelas dan kadang nggak jelas sama sekali. Dia selalu mengirimkan pesan sesuai dengan apa yang kutanyakan, to the point. Terkadang itu membuatku kesal sendiri, merasa kalau itu adalah bukan feedback yang diharapkan sebenarnya. Aku ingin yang lebih, lebih, dan lebih. Layaknya drama korea yang aktornya memang cuek tapi romantis. Memang, drama korea mengaburkan mata dalam segala hal, dalam hal lelaki misalnya.
            “Kemana aja seharian?” tanyaku pada sesorang di seberang yang entah sedang berbuat apa.
            “Maaf ya sayang, tadi sibuk banget aku…”
            “Kenapa sih sayang nggak pernah ngabarin kalo mau sibuknya lama. Seneng banget bikin aku nunggu. Ya kalo emang sibuk kabarin aku dong, aku sibuk yaang sebentar yaaa. Ato apa gitu kek yang lain. Mesti langsung asal ninggal, nggak tau apa kalo ada yang nungguin daritadi?” entah emosi macam apa yang aku keluarkan semua.
            “Ya maaf sayang tadi nggak sempet..” suaranya memelas, berusaha meredakan emosiku yang mulai meledak.
            “Nggak sempet gimana? Ngetik SMS sebentar aja masa nggak sempet?” aku tetap mempertahankan argumenku.
            “Apa setiap hal yang aku lakuin harus aku kabarin ke kamu?” nada bicaranya meninggi.
            Aku terhenyak. “Iyalah. Biar aku nggak nunggu kamu.”
            “Siapa yang suruh nunggu aku?”
            “Aku sukanya nunggu!”
            “Yaudah tunggu aja kalo gitu!”
            Tut…tut…tut… aku terdiam. Tanpa terasa air mata mengalir perlahan membasahi pipi. Entah apa yang ada dipikirannya hingga memberi kabar bukan merupakan hal yang penting baginya. Anehnya juga dia marahnya seperti ini, biasanya juga nggak pernah marah. Padahal, awalnya niat aku yang ngambek malah dia yang ngambek duluan.
            Untuk mengusir rasa jengkelku, aku membuka tab=tab baru Chrome. Twitter. Berterimakasihlah pada Jack Dorsey yang telah memiliki ide yang luar biasa telah menciptakan media sosial yang seperti ini. Setelah membalas mention-mention candaan bersama teman yang lain, tiba saatnya dimana sudah tak ada lagi yang bisa dikerjakan dengan media berlogo burung ini. Stalking! Yak! Hal rutin yang kulakukan di saat memang sudah tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Mulai dari artis luar, artis dalam negeri, temen paling cantik, ganteng, mantan sendiri, mantannya pacar, mantan-mantan pacar-temennya-temen, sampe pacar sendiri tak pernah absen dalam daftar simpanan pencarian.
            Sayangnya dia tak pernah aktif dalam twitter. Aku pernah menanyakan hal ini, di saat teman yang lain sibuk mention-mentionan sama pacar tercintanya, aku hanya bisa mupeng. Pengin gitu rasanya mention-mentionan sm pacar. Memang sih terkadang kita menganggap itu ih pacaran kok di sosial media. Coba deh rasakan rasanya di mention sama pacar sendiri, pasti beda. Dan kalian tahu dia jawab apa saat kita membahas hal ini? Twitter cuman tulisan, nggak ada game-nya. Badanku lemas seketika menerima respon yang kurang diharapkan, tak diharapkan bahkan.
            Aku menatap nanar jendela kamar yang masih terbuka. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Sebenarnya apa sih yang salah sampai selalu seperti ini? Aku? Atau dia? Memang, aku selalu menuntutnya untuk menjadi sosok yang lebih dan lebih, bahkan aku tidak pernah memikirkan bagaimana dia menilaiku. Memangnya aku sempurna? Bisa saja dia lebih muak dengan segala sikapku?
            Aku melirik ponsel di sebelahku,, tak ada tanda-tanda akan datangnya sebuah pesan atau telepon masuk darinya. Mungkin dia marah, dia enggan, atau bahkan tidak peduli denganku.
            “Halo…” ujarku lirih setelah menanti nada sambung yang sekian lama be-tut-tut ria.
            “Ya?”
            “Marah ya?”
            “Aku udah paham banget kamu kayak gitu.”
            “Maaf yaa sayang.”
            “Buat?”
            “Udah bikin sayang marah. Aku nggak gitu lagi deh..” ujarku mengumbar janji yang sekian kali kuucapkan dan sekian kali pula kulanggar.
            “Iyaaa sayaaang..”
            Aku tau dia memang tak pernah marah padaku. “Makasih sayang. I love you.”
            “I love you too.”
            Aku tau kalau dia begitu paham denganku, aku yang sama sekali nggak bisa ditinggal contohnya. Hanya saja dia selalu melakukan hal-hal yang membuatku selalu menunggu, menunggunya untuk kembali dekat denganku. Aku takut kehilangannya.
            Dia yang jarang menyapaku dalam twitter, jarang membalas pesan dalam waktu cepat, jarang meneleponku, jarang mengajakku keluar duluan, jarang menarik tanganku dan menggenggamnya dengan erat, jarang menggandeng tanganku duluan, tak pernah merengkuh pundakku, tak pernah memberiku bunga, tak pernah memberiku surprise kecil, tak pernah menyempatkan waktu mengirim kabar saat sudah sibuk dengan dunianya, tak pernah berinisiatif memberiku permen, eskrim, atau apapun di kala aku gondok, tak pernah.
            Aku tau betapa jauhnya dia dari yang kuharapkan. Namun……kamu candu. Kamu masih candu. Selalu menjadi candu. Dan aku mencanduimu. Selalu.
           

2 comments:

  1. Nggak tau kenapa bacanya kok sedih ya.... aku jadi inget masa lalu. Dia di masa lalu ku jg candu, tapi sekarang jadi racun kayaknya.
    Kamu jago ey kalo buat cerpen!

    ReplyDelete
  2. hahahaha iya kok miris yaaa *baru baca sekali lagi
    aaaaah deeaaaaaaa, jadi nostalgia deh
    dea juga jago! :3333

    ReplyDelete