Follow Me

Jangan Menghalangiku! Aku sendiri Tak Tahu Kemana Kakiku Akan Melangkah!

26 July 2012

my best friend

Berpisah. Aku enggan sekali dengan satu kata ini. Aku alergi. Aku takut. Aku...entahlah. Aku malas membahasnya.

Bukan. Aku tidak putus hubungan dengan siapapun.

Hanya saja. Malam ini pengumuman jalur mandiri Universitas Brawijaya, Malang. Aku sama sekali lupa. Usai sholat terawih, aku ngeloyor buat tidur, moodku lagi jelek banget soalnya. akhirnya aku kebangun jam 22.20. Ada 5 new message.


ini galuh :)

Dari Galuh, sahabatku tercintah! Dengan riangnya dia memberitahuku kalo dia lolos. Dia masuk di Brawijaya. Dia keterima jurusan akuntansi, yang itung-itungannya sebajek itu lho. Alhamdulilah :).

Namun, entah kenapa aku mendadak galau. Aku bingung, Aku harus bahagia atau sedih mendengarnya. Di satu sisi aku bersyukur akhirnya sahabatku ini mendapat satu kursi di bangku perkuliahan. Di sisi lain, kenapa aku merasa sedih? Aku merasa kalo dia nggak layak di Brawijaya, dia layak di Airlangga, bersamaku. Ya! Aku sedih berpisah dengannya. Aku udah ngerasa klop banget dengan cewek yang doyan shopping satu ini.

Bentar aku ngumbel dulu *teks penting*

Aku udah ngebayangin betapa happynya aku kalo sekampus sama dia, hang out sama dia, nonton konser sama dia, dia pingin banget nonton konser-konser gitu, dia pernah bilang, "Nggak pingin nonton-nonton konser ta? Aku pengen, biar kece gitu lhoo, kayak anak ibukota." aku ngekek dengernya. Mau nonton konser apaan coba? OVJ? hihihi.

Balik lagi ke topik kuliahan.

Entah. Aku langsung mewek seketika dan mberebes mili. Oh no! Apa ini yang bener-bener persahabatan? Aku sayang sahabatku yang satu itu. Nggak tau kenapa bisa seakrab ini. Kita dulu se-geng waktu SMP *jaman alay*. Anggota, Dilla, Yenny (aku), Galuh, Elok. Kita kasih nama DYGE, keren kan?

Tiap minggu kita main-main ke rumah Dilla, kadang ngecengin cowok, kerja kelompok, ato sekedar main biasa. Hingga masuk SMApun kita tetep ngadain kumpul-kumpul meskipun nggak bisa dibilang rutin karena Dilla beda SMA. Meskipun satu SMA, aku, Galuh, dan Elok nggak selalu tegur sapa. Kita beda.

Hingga akhirnya aku satu kelas sama Galuh di kelas XI IPA 7. Banyak banget moment penting kita berdua. terutama waktu di Bali. Pas Galuh kebelet pup di Kuta *tepuk jidat*. Aku heran, kenapa pake kebelet pup segala sih nih bocah? --' dengan santai dan menggebu-gebu aku dan Galuh keliling outlet. hingga....menemukan Matahari departement store di Kuta. Masuk deh. dipuas-puasin noh sama si Galuh buat membuang seluruh hajatnya *ngempet ketawa* ^^V






ini trip to Bali :)

Dan aku berhasil menyeretnya buat ikut organisasi tercintaku, OSIS. Aku menjebloskannya di jabatan Bendahara 1, aku Sekretaris 1. Jadi, pantaslah, aku jadi writer, dia jadi accountant.



ini lagi do the job, OSIS :)

Menghela napas.

Otakku memutar memori ke belakang seketika. Entahlah, kenapa rasanya lemah? Air mataku masih berceceran. Aku bakalan merindukan sahabatku yangbiasa aku panggil 'Penguin' ato 'Nyu'. Dan ternyata Penguin artinya gendut, pas deh sama dia yang gendut ^^V

Galuh yang selalu support aku dalam ke-single-anku yang berlarut-larut terutama *lipat muka*, kegalauanku akan mantan. :'D
Yang bikin gue tambah nangis saat gue bilang :
"Jaga diri, jangan nakal, jangan shoppingan lho yaa :)"
dengan emot nangis dia jawab :
"Aaaah, ga ada eyen yang dewasa yang ingetin aku lagi biar nggak shopingan :'("
entah kenapa teks itu langsung bikin air mata jatuh. haru.

Nggak bisa nemenin Galuh cari kado lagi di tahun ketiga bareng pacarnya :') maaf yaaa
Aduh, kenapa jadi cemen begini? Sekian dulu deh, next time aku sambung lagi cerita tentang sahabatku yang satu ini.


 dia dipelet mbak zila, usus :D

you're my best friend, ever, really. i love you so much. don't forget me. see you later. :*
(˘⌣˘)ε˘`) (ɔ ˘⌣˘)˘⌣˘ c)
we always be a best friends, right?
sukses bareng, sebar undangan nikah, saling jenguk kalo udah punya anak, ntar aku jodohin anak kamu sama anak aku, hahaha, ngaco banget :D

24 July 2012

you?

       
Aku tersipu begitu mendengar namanya diejakan berkali-kali dalam hatiku. Nafasku terengah-engah, efek dari degupan jantung yang tak karuan. Mataku tak henti-hentinya menatap sosok bertubuh jangkung berkostum basket di seberang lapangan. Didribelnya berkali-kali bola oranye kesayangannya. Dicobanya berkali-kali melemparkan bola ke arah ring yang berjarak beberapa meter di depannya. BLASH! Masuk! Three point! Aku tersenyum kecil melihat aksinya. Matahari dengan riangnya menyinari bumi siang ini. Berkali-kali ia terpaksa membuat angin-angin kecil dengan mengibaskan kausnya. Diusapnya keringat yang menggunung di keningnya. Tubuhnya basah berlumur keringat. Kulit yang tadinya kuning cerah, sekarang berubah kemerahan. Entah apa yang merasuki pikirannya hingga dengan santainya melanjutkan mendribel bola Untuk kesekian kalinya. Aku menggelengkan kepala. Gila! Semakin lama sekolah semakin sepi, satu persatu siswa berbondong-bondong menyusuri koridor dan lobi utama untuk segera pulang melepas penat di rumah. Namun, aku masih saja duduk terdiam di depan kelas di lantai bawah. Hari ini hari Selasa, harusnya aku segera pulang untuk berganti pakaian dan kembali lagi ke sekolah untuk mengikuti latihan paduan suara. Namun sayangnya, untuk kali ini aku lebih baik menunggu di sekolah tanpa harus pulang ke rumah. Apalagi kalau bukan karena lelaki yang satu itu? Aku menoleh ke kanan dan kiri, hanya untuk sekedar tahu apakah masih ada manusia yang bertahan di sekolah. Hanya tinggal segelintir anak manusia, itupun sibuk dengan organisasinya, semacam persiapan event futsal tahunan. Aku hanya tersenyum tipis ketika beberapa adik kelas menyapaku dengan senyuman. Tak butuh waktu lama, matakupun kembali menatap lelaki itu. Kali ini ia sedang duduk di lantai bawah gedung Aula, sibuk dengan tas sporty yang dibawanya. Dikeluarkannya botol minuman yang cukup besar. Ditenggaknya air mineral, jakunnya bergerak naik-turun, terlihat jelas. Entah apa yang membuat mataku menjadi sejeli ini menyaksikan segala gerak-gerik lelaki yang berada di seberang dengan jarak beberapa meter jauhnya.
            "Kamu nganggur kan, Ngi?" tanya seseorang mengejutkanku, Mas Bima. Aku membalasnya dengan anggukan. "Kamu ambil meja di bawah gedung Aula situ yaa.." Mas Bima menunjuk ke arah bawah gedung Aula dimana sebuah meja bertengger dengan santainya. "Ntar kalo nggak kuat kamu suruh aja anak basket itu bantuin kamu. Nggak apa-apa kan? Soalnya aku masih mau ambil keyboard di rumahnya Anita dulu."
            Aku menganggukkan kepala tanda mengerti. Aku berjalan perlahan menyusuri koridor. Makin mendekat ke arah bawah gedung Aula, degupan jantung makin lama makin kencang tak karuan. Entah apa yang harus aku lakukan saat lelaki itu menoleh ke arahku nantinya. Tersenyumkah? Atau? Entahlah, aku juga tak paham dengan kejadian seperti ini.
            Dengan PDnya aku mencoba mengangkat meja yang ditunjuk Mas Bima. Berat. Aku meletakkannya lagi seketika.
            "Sini, aku angkatin." ujarnya tiba-tiba. Aku menoleh. Ia melemparkan senyuman kecil yang.....sangat amat manis sekali. Seakan waktu berhenti berputar seketika. Senyumannya menancap dengan sadisnya di pikiranku. Bibirnya yang tipis dengan seulas senyuman diiringi dengan alis sebelah yang naik ke atas. Amazing!
            "Helloooow.." ujarnya mengeejutkanku.
            Aku gelagapan. "Eh iya, kalo mau bantuin juga sih." ujarku nggak karuan saking kagetnya.
            "Nggak gratis lho ya. Kamu mau ke situ kan?" ujarnya menunjuk salah satu kelas dari sekian kelas di lantai bawah. aku mengangguk. "Sekalian pulang sih. Aku angkat mejanya, kamu bawain tas sama bola aku, gimana? Boleh kan?" tanyanya diiringi dengan senyuman (lagi).
            Aku mencoba untuk memfokuskan diri. Aku mengangguk. dengan sigap, aku menyambar tas dan bola basket miliknya. Sedangkan, lelaki itu berusaha mengangkat meja.
            "Mau latihan paduan suara?" tanyanya.
            "Iya." jawabku singkat. Entah kata-kata apa lagi yang harusnya dikeluarkan. Bingung.
            "Kamu adek kelas aku kan?" tanyanya lagi.
            "Iya. Kok tau?" tanyaku heran.
            "Familiar aja sih." Ia tertawa kecil. Suaranya renyah. Diletakkan meja di teras kelas. "Aku taruh sini dulu aja ya. Pintunya masih dikunci. Kamu minta aja ke satpam." lagi-lagi ia tersenyum. "Makasih udah mau bawain tas sam bolaku."
            Buru-buru aku menyerahkan tas dan bola yang sejak tadi berada di pelukanku. "Eh iya, kelupaan." aku tertawa kecil.
            "Oke, aku duluan ya?" pamitnya.
            Aku mengangguk. "Makasih, Mas." aku tersenyum.
            Ia berjalan meninggalkanku. Namun entah kenapa ia kembali berjalan ke arahku.
            "Ada yang ketinggalan?" aku mencari-cari apa yang kiranya tertinggal.
            "Ada." ia tersenyum. "Namamu ketinggalan." lelaki itu mengulurkan tangannya.
            Aku ternganga mendengar ucapannya barusan. Mengejutkan. Tak disangka. Bisa dibilang menyenangkan. Gembira. Aku menyambut uluran tangannya.
            "Angi. Pelangi." ujarku lirih sambil tersenyum.
            "Geri. Gerimis."

to be continue...

hari biru


             Pintu kelas sudah terbuka sejak satu jam yang lalu, koridor utamapun juga sudah sepi, jajaran motor di parkiran tinggal segelintir, itupun pasti milik siswa berorganisasi atau malah milik para pegawai sekolah? Suara dedaunan yang rontok seiring dengan ranting yang bergoyang ditiup angin mendominasi suasana sore hari ini. Lapangan yang biasa dipenuhi bintang atlet papan atas seantero sekolah sekarang nampak sepi, Mario tahu akan hal itu. Latihan basket diliburkan. Namun entah mengapa Ia enggan untuk mengambil langkah menuju rumah. Mario terduduk di bangku beton di bawah pohon sudut sekolah dengan tatapan yang tak menentu ditemani dengan pikiran yang penuh sesak. Ditimang-timangnya ponsel keluaran terbaru di tangan kanannya. Sesekali dilihatnya. Tulisan ‘Mungil J’ mendominasi layar ponselnya. Beberapa kali ibu jarinya berada di atas tombol hijau di sudut ponselnya, namun berulang kali pula Mario mengurungkannya. Sial! Umpatnya dalam hati.
            Tiba-tiba Mario teringat atap  perpustakaan di lantai tiga yang biasanya hanya digunakan para pegawai menyimpak perkakas di gudang sudut atap. Tempat dimana Ia berkenalan dengan makhluk mungil di hari pertamanya masuk ke sekolah, dan selalu dikunjunginya baik saat istirahat maupun sepulang sekolah setiap hari. Namun, hal itu sudah tidak lagi jadi kebiasaannya sejak sebulan terakhir semenjak makhluk mungil yang dinantinya tak kunjung datang lagi ke tempat yang sama. Entah apa yang mengubah niat kukuh Mario untuk berjalan ke balkon tersebut. Mario berjalan gontai menenteng tas hitamnya yang ringan seperti tanpa isi menuju balkon. Dinaikinya anak tangga pelan-pelan, seperti orang akan pingsan.
            Setelah menaiki tangga dan melemparkan tasnya ke atap, Mario terkejut melihat makhluk mungil meringkuk di sudut dekat gudang dengan sebuah buku di pahanya. Sontak ia menoleh mendengar suara dari arah tangga, Mario.
“Tenang aja, ini aku.” Mario tersenyum tipis menyembunyikan jutaan tanya yang ada di kepalanya tanpa tahu jawabannya. Gadis itu balas tersenyum sambil cepat-cepat memasukkan buku yang tadi ditulisnya ke dalam tas. Mario berjalan mendekat ke arahnya, kemudian mengambil posisi duduk di sebelah gadis itu. “Hei Mungil, apa kabar?”sapanya dengan nada super-ringan.
Gadis itu menoleh sambil tersenyum. “Apanya yang apa kabar, Monster?” tanyanya dengan nada ceria.
“Hatinya??” celetuk Mario menatap kedua bola mata gadis di sebelahnya lekat-lekat. Mencoba mencari sebuah kejujuran dari matanya.
“Jangan menatapku seperti itu.” Gadis itu memalingkan wajahnya.
Angin sore yang sepoi-sepoi berhembus sejuk menerpa wajah mereka. Rambutnya yang tergerai indah beradu dalam lambaian. Suasana hening seketika. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing yang tak kuasa tersampaikan.
Are you okay, Mungil?” Mario menatap gadis di sebelahnya. Kali ini dengan tatapan yang teduh meskipun tetap penuh selidik setelah melihat guratan wajah gadis mungilnya yang tidak biasanya. “Kamu kenapa?” tembaknya frontal.
Gadis itu menatap langit dengan nanar sambil menggelengkan kepalanya samar-samar namun masih terlihat. “Nggak apa-apa kok, Mon.”
“Kamu pernah denger nggak cerita tentang Putri Dominique?”
“Putri Domonique??” gadis itu mengernyitkan dahinya tanda tidak mengerti. “Sejak kapan ada yang namanya Putri Dominique. Kan, Kakak ngarang deh. Nggak pernah didongengin yaaa? Setau aku nih ya, dongeng mah yang umum-umum aja kayak Snow White, Tinker Bell, Cinderella, Putri Tidur, Anastasia, Ariel, Rapunzel. Kayak gitu, Kak. Eh ini malah Putri Dominique.” Gadis itu menghela napas panjang setelah berceloteh.
Akhirnya dia yang dulu kembali!
“Kaaaan, kamunya aja sih yang nggak update. Ceritanya gitu mulu, nggak berkembang.” Cibir Mario.
“Yaudah deeeeh, emangnya kenapa sama Puti Dominique? Punya pacar ganteng? Mati dibunuh? Nyari kembarannya? Disihir sama nenek jahat? Hah?” gadis itu tertawa kecil.
Mario mengusap rambut gadis di sebelahnya penuh kasih. “Bukan tauuuk. Jadi gini, Putri Dominique itu punya pacar, tapi dia dijodohin sama Pangeran Alvradanio dari negeri seberang…”
“Terus mati? Bunuh diri? Pasti kayak gitu deh ceritanya..” Mario terpaksa dengan sigap membungkam mulutnya. “Ampbpuunnhh.” Ujarnya kehabisan udara.
“Makanya, dengerin aku dulu.” Mario melepaskan tangannya.
“Iya deh iyaaaa..” gadis itu menuruti apa kata Mario. “Terus terus? Gimana kelanjutannya, Kak?” ujarnya dengan mata berbinar seolah-olah penasaran sekali dengan ceritanya.
Mario tertawa kecil melihat mimik wajah gadis di sebelahnya. “Terus…si Pangeran Alvradanio ini baiiiikkk banget sama Putri Dominique, nggak kayak pacarnya. Lalu, di suatu hari Pangeran Alvra meminta Putri Dominique untuk mau bercerita padanya, karena Pangeran ini merasakan ada hal yang disembunyikan oleh Putri. Namun Putri tetep kukuh tidak mau member tahu kalau dia sudah punya pacar. Hingga pada suatu hari Putri bertengkar hebat dengan pacarnya sampe putus, namun di hari yang sama juga Pangeran Alvra harus ikut berperang. Dia sempet bilang…” Mario menghela napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. “Dia sempet bilang kalo dia nggak akan pernah kembali kalo si Putri nggak mau bilang yang sejujurnya ke Pangeran. Namun, Putri tetap saja diam. Selama Pangeran berperang entah kenapa si Putri kangen banget sama Pangeran, tapi di hari berikutnya terdengar kabar kalo Pangeran mati terbunuh saat perang.” Mario menatap gadis di sebelahnya. “Tau nggak apa yang dilakukan Putri selanjutnya?”
“Bunuh diri?” tebak gadis itu. “Jadi gila?” tebaknya lagi. “Ato jangan-jangan tuh Putri nikah sama mantan pacarnya?”
Mario menggeleng. “Masa kamu nggak tau sih?”
Gadis itu menggeleng. “Enggak. Emangnya si Putri kenapa, Mon?” tanyanya penasaran menatap Mario.
Mario menarik napas panjang hingga menciptakan hening yang cukup lama. “Ya si Putri menyesal laaaah, Ngil…” Mario menoyor gadis itu sambil tertawa. Gadis itu manyun mendengar lelucon Mario yang dianggapnya nggak lucu sama sekali. Mario lagi-lagi menatap kedua bola mata gadis itu. “Kamu kenapa, Ngil?” tanyanya lembut.
Set! Gadis itu melingkarkan tangannya merengkuh tubuh Mario yang jauh lebih besar. Ia membenamkan kepalanya sedalam-dalamnya di depan dada Mario berharap mendapatkan sebuah kehangatan yang dapat menenangkannya. Suara sesenggukkan lirih namun masih bisa terdengar menjadi backsound sore itu. Mau tidak mau, Mario mengusap-usap rambut gadis yang ada di pelukannya dengan lembut. Mencoba menenangkan semampunya. Perlahan Mario bisa merasakan air yang meresap menyentuh kulitnya di sekitar dada. Gadis mungilnya menangis. Disela isakan tangisnya terasa sangat berat dengan beban yang cukup mendalam. Tak lama, gadis itu melepaskan pelukannya dan buru-buru menyeka air matanya di pipi.
“Kamu kenapa?” tanya Mario memegang kedua pipinya lalu menyeka air mata yang masih menetes dengan ibu jari. “Aku tau kamu nggak dalam keadaan baik-baik aja. Aku tau kamu pasti kenapa-kenap sebulan terakhir ini. Aku tau kamu takut, kamu bingung, kamu ngerasa sendirian. Aku tau kamu punya segudang cerita yang nggak sanggup kamu beberin, kan?” Mario menatap gadis itu dalam-dalam. “Cuma satu yang aku nggak tau, kenapa kamu masih merasa ini semua baik-baik aja? Hah?” tangisannya semakin meledak. Mario langsung memeluknya mencoba menenangkannya untuk kedua kalinya. Tak lama, gadis itu melepaskan pelukannya.
“Moonn…” ujarnya terbata-bata dengan mulut yang masih gemetaran karena tangisan hebatnya barusan. “Aku kecewa Mon, aku nggak suka sama semua sikap Dirga ke aku selama ini. tapi aku sayang banget Kak sama dia.”
Sudah diduga!
“Udah kesekian kalinya aku mergokin dia jalan sama cewek lain. Stela, Anggun, Clara…banyak deh Kak. Yang bikin aku nggak habis pikir, berulang kali aku minta putus, tapi dia nggak mau Kak. Dia bilang dia sayang banget sama aku, tapi kenapa dia kayak gitu? Aku nggak ngerti Kak harus kayak gimana?” teternya dengan nada bicara yang nggak karuan.
Mario terdiam mendengar cerita gadis mungilnya.
“tapi aku sayang dia, Kak….”
Seulas senyum samar yang hambar melengkung di bibir Mario. Tapi aku jauh menyayngimu, Mungil. Rasanya ingin sekali benaknya mengatakan hal itu saat ini, namun bibirnya seakan memilih untuk bungkam.
“Kamu lihat dia??” Mario menunjuk matahari di ufuk barat yang semburat nggak karuan. “Bagiku, kasih sayang itu kayak matahari sama bulan.” Mario menoleh, memastikan gadis di sebelahnya dalam keadaan baik-baik saja. “Meskipun mereka nggak pernah bertemu secara langsung dengan penglihatan kita dalam waktu dua puluh empat jam, namun dengan bantuan matahari, bulan bisa bersinar.. Mereka tegar, Ngil.”
Seperti aku dan kamu. Matahari dan bulan.

21 July 2012

Mr. Ex

Dear, kamu.

assalamualaikum, apa kabar? pasti baik, karena aku juga baik :)

'kamu lagi apa?' tiga patah kata tanya yang sulit sekali untuk dijawab. tanpamu. akupun tahu kalau itu takkan pernah terjawab pula olehmu semenjak.......semen..jak ada dia! memang, perempuan itu tak bersalah, aku yakin kalau kamulah penyebab utamanya yang membuat dia juga bersalah di mataku. aku sama sekali tak menyimpan dendam, hanya saja, aku terluka, sangat terluka. terluka karenamu.

pernah terbayangkan tidak bagaimana rasanya ketika ada seseorang yang dengan lancangnya masuk ke dunia kita begitu lama, sangat lama, bertahun-tahun? bergelut dengan rantaian harapan, doa yang dilayangkan bertubi-tubi, seorang kekasih pujaan yang rela untuk ditinggalkan. demi apa? demi apa lagi kalau bukan untukmu? hah?! kamu nggak sadar?

rasanya nggak adil.

tetap saja aku merasa nggak adil.

meskipun selama 160 hari aku memilikimu. hanya 160 hari? setelah dua tahun lamanya kamu dekat denganku? aku salah apa?

ya! mungkin bagimu aku bersalah kala itu. saat kalimat itu terlontar tanpa kontrol dari bibirku, "yaudah, kalo kamu nggak nerima aku, ngapain jadian sama aku? kenapa nggak sama yang lain aja?"

aku sadar betul dengan apa yang aku ucapkan. di balik perkataanku aku menyisipkan banyak harapan. aku ingin kamu lebih tahu betapa sakit rasanya kalau nggak diterima dengan ikhlas, apa adanya.

aku yakin rotasi duniamu kala itu berhenti seketika. kamu berusaha meredam semua amarahmu, bukan amarah, kecewa lebih tepatnya. aku tahu pikiranmu berkecamuk. aku menyalahkanmu. kamu terpojok. dan, berpisahpun jalan yang terbaik untuk dipilih. kamu pilih lebih tepatnya. sedih.

seminggu kemudian, aku bertanya di sela-sela boncengannya, "habis ini kamu cari pacar lagi?" kuamati mimiknya dari balik punggungnya. "entahlah, lihat ke depannya aja.". aku terdiam. "kalo kamu?" tanyanya. aku memutar kedua bola mataku, "sepertinya aku fokus sekolah, buat unas". alasan klasik. sebenarnya hatiku berkata, 'aku menunggumu lagi'

sebulan berikutnya aku dan kamu dekat lagi. masih saja aku merasa kamu bukan hakku lagi. namun aku tersenyum. puas. begitu juga denganmu. "aku seneng bisa barengan sama kamu lagi.", gumamku. "aku juga.." meskipun hanya dengan dua kata, namun hal itu mengartikan makna yang sama.

hanya saja itu semua berlangsung tak begitu lama. semua hilang, hanya beberapa sapaan untuk bulan ramadhan. dan menanyakan tentang twitter di beberapa bulan kemudian.

entah apa yang merasuki pikiranku enam bulan lalu. aku memblock facebookmu. setelah tahu kamu punya perempuan yang lain. aku terluka, sangat terluka. aku tak mau mengenalmu. aku ingin amnesia. sakit. teramat sakit.

karena aku masih menyayangimu. entah sampai kapan.

                                Sincerly,
                                aku.

"kamu rumahku. kalo kita putus, aku harus pulang kemana?" kemudian kamu membelai rambutku sambil tersenyum, "nggak nggak, nggak akan. jangan gitu. jalani aja."

20 July 2012

Marhaban Ya Ramadhan



puasa, puasa, puasa,
nggak kerasa udah bulan Ramadhan lagi. puasa 30 hari lagi.
dan, sendiri lagi.

ヘ(^_^ヘ) (ノ^_^)ノ

19 July 2012

#random

aku sama sekali tak tahu apa yang telah digariskan Tuhan di telapak tanganku saat aku dalam kandungan. aku juga tak tahu, takdir mana yang diubah Tuhan secara tiba-tiba. aku tak tahu bagaimana Tuhan menilaiku.

tak ada yang sempurna. tak ada yang abadi. tak ada yang tetap.
semua berubah.

aku tahu, Tuhan pasti tahu apa yang bergelut di hatiku. apa yang kurasakan. apa yang kupikirkan. apa yang terselubung di benakku, membuatku hanyut dalam setiap perasaan yang satu per satu muncul bergelayutan. apakah Tuhan tertawa? atau tersenyum? atau hanya terdiam dan bahkan marah?

aku lelah berlari. aku ingin berjalan tapi tak sanggup, karena aku ingin sekali berlari untuk segera sampai. aku butuh tuntunan.
aku mengeluh? entahlah. paling tidak aku meluapkan apa yang ada.

aku bingung. aku ingin sekali menulis sesuatu yang lebih 'WOW' dari sekian posting yang selalu aku post dan nangkring di alamat blogku. aku ingin lebih dari ini. namun aku belum mampu.
alay? tidak!
bukankah sebuah blog (jurnal/diary) memang tidak untuk dipublikasikan. kalau saja blog ibarat sebuah album lagu atau dvd film, dengan semangat yang menggebu aku bakalan promosiin blogku kemana-mana. seluruh penjuru dunia kalau bisa. mungkin.

#random #confused tapi #tidak galau
•╮(⌒.⌒)╭•

18 July 2012

first - last


              Kalau bukan gara-gara Rio, adik Adly, mungkin Adly nggak akan berlarian sambiil menenteng skateboard kesayangannya dengan harapan semoga gerbang sekolah masih terbuka pagi ini. Namun, meskipun gerbang sudah tertutup rapatpun sebenarnya Adly masih bisa masuk dengan bebas seperti biasanya. Gerbang sekolah yang tinggal beberapa meter lagi di depan mata sudah hampir menutup rapat berkat satpam bertubuh gemuk yang mendorongnya perlahan. Sial! Mana mungkin tetap menerabas masuk sementara gerbang sudah tertutup rapat? Mau cari mati?! Adly langsung memutar otak diiringi bibir kanannya yang tersungging ke atas. Adly berlari kencang menuju pagar beton samping sekolah sebelum sepuluh menit lagi Pak Bono melakukan operasi keliling memberantas bocah nakal macam Adly.
            Nggak butuh waktu lama untuk kelihaian seorang Adly memanjat pagar beton yang tingginya dua kali dari tinggi badannya. Biasalaaah, Adly sudah terlatih akan hal yang seperti itu.
“HEY KAMUU!!” Terdengar teriakan seoraang guru setelah Adly menginjakkan kakinya di tanah.
SIAL!
“Berani-beraninya kamuu…..” lanjut Pak Bono meneriaki tanpa menghampiri. Maklumlah, guru ketertiban yang satu itu mengidap penyakit rabun dan saat ini beliau tidak memakai kacamata. PERFECT!
“Ampuuuun Paaaakk….” Teriak Adly langsung berlari bebas sambil tertawa geli menuju ke barisan upacara terdekat setelah meletakkan tas dan skateboard-nya di salah satu lemari OB di dekat kamar mandi.
“Misi…misiii….” Bisik Adly menyerobot sebuah barisan, entah bariasan kelas berapa dan langsung menuju barisan cowok. Adly memutuskan untuk baris di perbatasan barisan kelas, gerakan Adly yang secara tiba-tiba itu nggak luput dari pandangan banyak pasang mata di sekitarnya. Karena nggak mau pandangan itu jadi penyebab ketahuan, terpaksa Adly melototin mata ke segala arah sehingga nggak ada satupun yang berani melihat cowok bertubuh atletis itu.
“Ya ampuuuun panasnyaaa..” suara lirih dari seorang cewek yang berada tepat di belakang Adly terdengar sangat jelas.
Memang benar, pagi ini cuacanya kelewat cerah. Saking semangatnya matahari menyinari bumi sampai-sampai terasa seperti neraka bocor. Adly melirik ke belakang, dilihatnya seorang cewek yang berbaris tepat di belakangnya menundukkan kepalanya dalam-dalam di balik topi di kepalanya agar tidak terkena sinar matahari. Ternyata posisi Adly tidak cukup memberi bayangan teduh untuk menutupi manusia di belakangnya dari sinar matahari.Adly yang memiliki postur tubuh yang lebih tinggi langsung berinisiatif menggeser posisi badannya sehingga bayangan tubuhnya tepat mengenai cewek kepanasan yang berada di belakangnya. Alhasil, cewek itu langsung mendongakkan kepalanya ke arah Adly sambil melongo tidak percaya. Adly hanya tersenyum tipis melihat ekspresinya.
20 menit kegiatan rutinitas di hari Senin itupun akhirnya berakhir juga. Buru-buru Adly bubar barisan dan berlari menuju lemari OB dimana tas dan skateboard-nya diletakkan sebelum akhirnya hilang entah kemana. Setelah itu, Adly berlari ke kelas agar nggak ada satu jejakpun terdeteksi oleh guru ketertiban
“GILA! Kamu telat lagi?!” teriak Koko membelalakkan mata nggak percaya. Namun, Adly hanya menaikkan sebelah alisnya dan menghempaskan pantatnya ke kursi. “Telat tiga kali di hari Senin dan kamu lolos?!” lagi-lagi Koko tidak percaya. Sebenarnya dia sangat iri pada Adly karena selalu ada saja cara untuk lolos, sedangkan dia? Hanya bisa berdoa agar orang tuanya tidak sampai dipanggil guru BK.
“Lebay banget sih, biasa aja kalii..” Adly mengusap-usap daun telingan karena suara bass milik Koko dinilainya tidak cukup merdu.
“GILA!” Koko masih menggelengkan kepala.
It’s so simple.
Koko memutar kedua bola matanya setiap kali mendengar kata itu meluncur dari mulut Adly. “Eh ngomong - ngomong, tadi baris dimana? Kok nggak kelihatan? Biasanya kan kelihatan di barisan anak IPS?”
Adly menggelengkan kepala. “Aku juga nggak tahu tadi baris dimana. Kan nomaden, tapi kayaknya tadi terdampar di barisan kelas XI deh.”
“XI IPA?”
Adly menaikkan bahu. “Eh..” Adly menepuk bahu Koko. “Tahu nggak adek kelas yang hobi dikuncir kuda?”
Koko mengernyitkan dahi. “Kuncir kuda? Banyak kali, brooo…” Koko tertawa mendengar pertanyaan Adly barusan. “Fio kapten cheerleader suka dikuncir kuda kalo latihan, Mia yang pecinta alam juga suka dikuncir kalo lagi manjat, Dinda yang anak OSIS, Lulu yang cupu juga. Banyaaakk…” lanjut Koko menyebutkaan satu persatu cewek yang diingatnya suka dikuncir kuda.
“Iya juga yaaaaa…” Adly menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Memangnya kenapa?” Koko penasaran.
Adly menggeleng. “Hahahaha, nggak kok.”
“Bohong deh! Jangan bilang kalo kamu lagi naksir cewek yang suka kuncir kuda waktu baris tadi?”
Adly mendelik. “S-O-K-T-A-U! mentang-mentang yang kemarin baru jadian. Ciyeeee….” Adly menoyor kepala Koko.
*****
            Bener-bener Tuhan memang Mahakuasa. Tadi pagi cuaca cerahnya nggak ketulungan, eh pulang sekolah malah hujan begini. Mau nggak mau Adly memilih untuk bertahan di sekolah menunggu hingga hujan reda. Mana mungkin Adly menerabas hujan hanya dengan bekal sebuah skateboard dan sebuah dompet yang tertinggal di rumah. Demi apa coba?
            Hanya ada rintikan hujan dihadapannya sekarang. Semua anak sudah memilih untuk pulang usai bel berbunyi tadi sebelum akhirnya hujan turun. Koko juga, Ia sudah pulang lebih dulu karena harus menjeput adiknya. Adly memang lebih suka melakukan aktivitas sendirian selama dia bisa, bukan berarti Adly egois, bukan. Melainkan Adly ingin lebih mandiri dalam mengerjakan segala hal.
“Udah, kamu pulang aja. Aku nggak apa-apa kok, Dean.”
Adly menoleh ke arah sumber suara. Oooh cewek…
“Yakin nggak apa-apa?” ujar cewek yang wajahnya terlihat oleh Adly.
“Iya nggak apa-apa. Kamu kan udah dijemput. Ada les piano juga kan? Kamu duluan aja.” Kata cewek yang satu lagi yang membelakangi Adly dengan kuncir kudanya.
Kuncir kuda? Jangan-jangan cewek yang tadi?! Ah mana mungkin? Seperti kata Koko tadi, di sekolah ini nggak cuma satu yang suka dikuncir kuda. Batin Adly.
“Eh Kak-Kak.” Kata cewek itu menepuk bahu Adly hingga yang ditepuk bahunya menoleh. “Jagain temenku ya Kak, sampe dia dijemput sama sopirnya. Jangan diapa-apain lho yaaa..” ujarnya sok kenal dengan Adly.
Lha dikira aku babysitter-nya? Batin Adly.
Mau nggak mau Adly hanya tersenyum kecut. Cewek yang membelakangi Adly ikut menoleh.
Ih cewek yang tadi! Teriak batin Adly sumringah.
“Eh, Kakaknya dimintai tolong malah ngelamun. Heh Kak!”
Lamunan Adly buyar seketika. “Iya…iya..” Adly menganggukkan kepala dengan cepat.
“Oke, aku pulang dulu ya Kina, bye…” ujar cewek itu berjalan menjauh.
Oooh, Kina toh namanya!
Usai temannya pergi, Adly menggeser posisi duduknya menyisakannya untuk Kina. Tanpa malu-malu cewek itu langsung duduk di sebelah Adly karena hanya ada satu kursi beton di bawah tangga Aula. Mau nggak mau Kina memilih untuk duduk dengan orang yang tak dikenalnya daripada harus berdiri hingga sopirnya datang menjemput.
Hening. Hanya suara rintikan hujan yang terdengar selama beberapa menit kemudian.
“Makasih, Kak.” Kata Kina lirih tidak cukup mengalahkan volume rintikan hujan kala itu.
“HAH?”
“Makasih yang tadi.” Kata Kina meningkatkan volume suaranya.
“Ooh iyaaa, sama-sama.” Adly mengaggukkan kepalanya.
Hening lagi. Adly bingung. Sebenarnya Ia ingin sekali mengajak cewek di sebelahnya yang diam-diam disukainya pada pandangan pertama ini lebih lama lagi.
“Kina?” celetuk Adly.
Kina menoleh mengernyitkan dahi. “Kok tahu?”
Adly tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Kina menyambutnya dengan tersenyum pula. “Adly.” Adly memperkenalkan diri. Dengan cepat, jabatan tangan itu berakhir.
Adly dan Kinapun mulai hanyut dalam pembicaraan yang lambat laun membuat mereka tanpa sadar tertwa kencang sesekali disela-sela cerita masing-masing. Semakin jauh, Adly semakin merasa nyaman dan merasa kalau cewek yang berada di hadapannya inilah yang suatu saat nanti akan dijadikan ratu di hatinya member warna di setiap harinya.
Beberapa menit kemudian saat hujan sudah reda.
“KINAAAA….” Teriak seorang lelaki sambil melambaikan tangannya dari seberang.
Adly dan Kina menoleh ke arah sumber suara.
Ah, pasti itu sopirnya! Pikir Adly.
Kina menyambut lambaian itu dengan sumringah. Tak lama kemudian, lelaki di seberang menghaampiri dimana Adly dan Kina duduk.
“Kata Mama kamu, kamu masih di sekolah. Pak Ujang mogok di jalan, ya udah aku yang jemput aja.” Ujar cowok itu. “Eh, Adly..” sapa cowok itu saat melihat Adly yang melongo keheranan. “Oh ya, dari kemarin aku belum sempet kasih tau. Ini nih pacar baru aku, namanya Kina. Kina, ini temen sebangkuku, namanya Adly.”
“Ooh jadi Kak Adly ini sebangku sama Kak Koko toh?” Kina tersenyum.
Adly hanya bisa terdiam dengan perasaan yang cukup shock.
“Yuk pulang yuk.” Koko meraih tangan kanan Kina. “Aku duluan yaa, brooo…”
Adly tersenyum tipis memandang mereka berdua yang berjalan menjauh dengan sebuah payung pelangi di atasnya.
Namanya Kina, pacarnya Koko.
Setidaknya hari ini aku mendapatkan satu nama yang menjabat tanganku pertama dan juga terkahir yang lalu masuk dalam list baruku yang langsung dicoret dengan tinta merah secepatnya. Batin Adly.