Follow Me

Jangan Menghalangiku! Aku sendiri Tak Tahu Kemana Kakiku Akan Melangkah!

24 July 2012

hari biru


             Pintu kelas sudah terbuka sejak satu jam yang lalu, koridor utamapun juga sudah sepi, jajaran motor di parkiran tinggal segelintir, itupun pasti milik siswa berorganisasi atau malah milik para pegawai sekolah? Suara dedaunan yang rontok seiring dengan ranting yang bergoyang ditiup angin mendominasi suasana sore hari ini. Lapangan yang biasa dipenuhi bintang atlet papan atas seantero sekolah sekarang nampak sepi, Mario tahu akan hal itu. Latihan basket diliburkan. Namun entah mengapa Ia enggan untuk mengambil langkah menuju rumah. Mario terduduk di bangku beton di bawah pohon sudut sekolah dengan tatapan yang tak menentu ditemani dengan pikiran yang penuh sesak. Ditimang-timangnya ponsel keluaran terbaru di tangan kanannya. Sesekali dilihatnya. Tulisan ‘Mungil J’ mendominasi layar ponselnya. Beberapa kali ibu jarinya berada di atas tombol hijau di sudut ponselnya, namun berulang kali pula Mario mengurungkannya. Sial! Umpatnya dalam hati.
            Tiba-tiba Mario teringat atap  perpustakaan di lantai tiga yang biasanya hanya digunakan para pegawai menyimpak perkakas di gudang sudut atap. Tempat dimana Ia berkenalan dengan makhluk mungil di hari pertamanya masuk ke sekolah, dan selalu dikunjunginya baik saat istirahat maupun sepulang sekolah setiap hari. Namun, hal itu sudah tidak lagi jadi kebiasaannya sejak sebulan terakhir semenjak makhluk mungil yang dinantinya tak kunjung datang lagi ke tempat yang sama. Entah apa yang mengubah niat kukuh Mario untuk berjalan ke balkon tersebut. Mario berjalan gontai menenteng tas hitamnya yang ringan seperti tanpa isi menuju balkon. Dinaikinya anak tangga pelan-pelan, seperti orang akan pingsan.
            Setelah menaiki tangga dan melemparkan tasnya ke atap, Mario terkejut melihat makhluk mungil meringkuk di sudut dekat gudang dengan sebuah buku di pahanya. Sontak ia menoleh mendengar suara dari arah tangga, Mario.
“Tenang aja, ini aku.” Mario tersenyum tipis menyembunyikan jutaan tanya yang ada di kepalanya tanpa tahu jawabannya. Gadis itu balas tersenyum sambil cepat-cepat memasukkan buku yang tadi ditulisnya ke dalam tas. Mario berjalan mendekat ke arahnya, kemudian mengambil posisi duduk di sebelah gadis itu. “Hei Mungil, apa kabar?”sapanya dengan nada super-ringan.
Gadis itu menoleh sambil tersenyum. “Apanya yang apa kabar, Monster?” tanyanya dengan nada ceria.
“Hatinya??” celetuk Mario menatap kedua bola mata gadis di sebelahnya lekat-lekat. Mencoba mencari sebuah kejujuran dari matanya.
“Jangan menatapku seperti itu.” Gadis itu memalingkan wajahnya.
Angin sore yang sepoi-sepoi berhembus sejuk menerpa wajah mereka. Rambutnya yang tergerai indah beradu dalam lambaian. Suasana hening seketika. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing yang tak kuasa tersampaikan.
Are you okay, Mungil?” Mario menatap gadis di sebelahnya. Kali ini dengan tatapan yang teduh meskipun tetap penuh selidik setelah melihat guratan wajah gadis mungilnya yang tidak biasanya. “Kamu kenapa?” tembaknya frontal.
Gadis itu menatap langit dengan nanar sambil menggelengkan kepalanya samar-samar namun masih terlihat. “Nggak apa-apa kok, Mon.”
“Kamu pernah denger nggak cerita tentang Putri Dominique?”
“Putri Domonique??” gadis itu mengernyitkan dahinya tanda tidak mengerti. “Sejak kapan ada yang namanya Putri Dominique. Kan, Kakak ngarang deh. Nggak pernah didongengin yaaa? Setau aku nih ya, dongeng mah yang umum-umum aja kayak Snow White, Tinker Bell, Cinderella, Putri Tidur, Anastasia, Ariel, Rapunzel. Kayak gitu, Kak. Eh ini malah Putri Dominique.” Gadis itu menghela napas panjang setelah berceloteh.
Akhirnya dia yang dulu kembali!
“Kaaaan, kamunya aja sih yang nggak update. Ceritanya gitu mulu, nggak berkembang.” Cibir Mario.
“Yaudah deeeeh, emangnya kenapa sama Puti Dominique? Punya pacar ganteng? Mati dibunuh? Nyari kembarannya? Disihir sama nenek jahat? Hah?” gadis itu tertawa kecil.
Mario mengusap rambut gadis di sebelahnya penuh kasih. “Bukan tauuuk. Jadi gini, Putri Dominique itu punya pacar, tapi dia dijodohin sama Pangeran Alvradanio dari negeri seberang…”
“Terus mati? Bunuh diri? Pasti kayak gitu deh ceritanya..” Mario terpaksa dengan sigap membungkam mulutnya. “Ampbpuunnhh.” Ujarnya kehabisan udara.
“Makanya, dengerin aku dulu.” Mario melepaskan tangannya.
“Iya deh iyaaaa..” gadis itu menuruti apa kata Mario. “Terus terus? Gimana kelanjutannya, Kak?” ujarnya dengan mata berbinar seolah-olah penasaran sekali dengan ceritanya.
Mario tertawa kecil melihat mimik wajah gadis di sebelahnya. “Terus…si Pangeran Alvradanio ini baiiiikkk banget sama Putri Dominique, nggak kayak pacarnya. Lalu, di suatu hari Pangeran Alvra meminta Putri Dominique untuk mau bercerita padanya, karena Pangeran ini merasakan ada hal yang disembunyikan oleh Putri. Namun Putri tetep kukuh tidak mau member tahu kalau dia sudah punya pacar. Hingga pada suatu hari Putri bertengkar hebat dengan pacarnya sampe putus, namun di hari yang sama juga Pangeran Alvra harus ikut berperang. Dia sempet bilang…” Mario menghela napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. “Dia sempet bilang kalo dia nggak akan pernah kembali kalo si Putri nggak mau bilang yang sejujurnya ke Pangeran. Namun, Putri tetap saja diam. Selama Pangeran berperang entah kenapa si Putri kangen banget sama Pangeran, tapi di hari berikutnya terdengar kabar kalo Pangeran mati terbunuh saat perang.” Mario menatap gadis di sebelahnya. “Tau nggak apa yang dilakukan Putri selanjutnya?”
“Bunuh diri?” tebak gadis itu. “Jadi gila?” tebaknya lagi. “Ato jangan-jangan tuh Putri nikah sama mantan pacarnya?”
Mario menggeleng. “Masa kamu nggak tau sih?”
Gadis itu menggeleng. “Enggak. Emangnya si Putri kenapa, Mon?” tanyanya penasaran menatap Mario.
Mario menarik napas panjang hingga menciptakan hening yang cukup lama. “Ya si Putri menyesal laaaah, Ngil…” Mario menoyor gadis itu sambil tertawa. Gadis itu manyun mendengar lelucon Mario yang dianggapnya nggak lucu sama sekali. Mario lagi-lagi menatap kedua bola mata gadis itu. “Kamu kenapa, Ngil?” tanyanya lembut.
Set! Gadis itu melingkarkan tangannya merengkuh tubuh Mario yang jauh lebih besar. Ia membenamkan kepalanya sedalam-dalamnya di depan dada Mario berharap mendapatkan sebuah kehangatan yang dapat menenangkannya. Suara sesenggukkan lirih namun masih bisa terdengar menjadi backsound sore itu. Mau tidak mau, Mario mengusap-usap rambut gadis yang ada di pelukannya dengan lembut. Mencoba menenangkan semampunya. Perlahan Mario bisa merasakan air yang meresap menyentuh kulitnya di sekitar dada. Gadis mungilnya menangis. Disela isakan tangisnya terasa sangat berat dengan beban yang cukup mendalam. Tak lama, gadis itu melepaskan pelukannya dan buru-buru menyeka air matanya di pipi.
“Kamu kenapa?” tanya Mario memegang kedua pipinya lalu menyeka air mata yang masih menetes dengan ibu jari. “Aku tau kamu nggak dalam keadaan baik-baik aja. Aku tau kamu pasti kenapa-kenap sebulan terakhir ini. Aku tau kamu takut, kamu bingung, kamu ngerasa sendirian. Aku tau kamu punya segudang cerita yang nggak sanggup kamu beberin, kan?” Mario menatap gadis itu dalam-dalam. “Cuma satu yang aku nggak tau, kenapa kamu masih merasa ini semua baik-baik aja? Hah?” tangisannya semakin meledak. Mario langsung memeluknya mencoba menenangkannya untuk kedua kalinya. Tak lama, gadis itu melepaskan pelukannya.
“Moonn…” ujarnya terbata-bata dengan mulut yang masih gemetaran karena tangisan hebatnya barusan. “Aku kecewa Mon, aku nggak suka sama semua sikap Dirga ke aku selama ini. tapi aku sayang banget Kak sama dia.”
Sudah diduga!
“Udah kesekian kalinya aku mergokin dia jalan sama cewek lain. Stela, Anggun, Clara…banyak deh Kak. Yang bikin aku nggak habis pikir, berulang kali aku minta putus, tapi dia nggak mau Kak. Dia bilang dia sayang banget sama aku, tapi kenapa dia kayak gitu? Aku nggak ngerti Kak harus kayak gimana?” teternya dengan nada bicara yang nggak karuan.
Mario terdiam mendengar cerita gadis mungilnya.
“tapi aku sayang dia, Kak….”
Seulas senyum samar yang hambar melengkung di bibir Mario. Tapi aku jauh menyayngimu, Mungil. Rasanya ingin sekali benaknya mengatakan hal itu saat ini, namun bibirnya seakan memilih untuk bungkam.
“Kamu lihat dia??” Mario menunjuk matahari di ufuk barat yang semburat nggak karuan. “Bagiku, kasih sayang itu kayak matahari sama bulan.” Mario menoleh, memastikan gadis di sebelahnya dalam keadaan baik-baik saja. “Meskipun mereka nggak pernah bertemu secara langsung dengan penglihatan kita dalam waktu dua puluh empat jam, namun dengan bantuan matahari, bulan bisa bersinar.. Mereka tegar, Ngil.”
Seperti aku dan kamu. Matahari dan bulan.

No comments:

Post a Comment